Teringat dengan kejadian yang menakjubkan, kedatangan
sekelompok bule untuk berwisata. Antusias masyarakat dan pemerintah setempat
begitu luar biasa menyambut kedatangan bule, bahkan respon pemerintah setempat
menyambut kedatangan bule. menurunkan pasukan militer untuk mengawal perjalanan
sekelempok bule mengelilingi daerah kami.
kejadian yang menakjubkan terulang kembali beberapa hari
yang lalu, sekelempok bule tiba di Daerah kami, dengan tujuan yang berbedah. Kedatangan
mereka yang pertama, bertujuan untuk berwisata,tetapi kedatangan mereka kali
ini bertujuan untuk melaksanakan pernikahan dengan seorang gadis yang berasal
dari Daerah kami.
Persoalannya bukan terdapat pada siapa yang menjadi
istrinya, dan siapa yang menjadi papa dan mama mantunya, tetapi pada respon
mayoritas masyarakat dan pemerintah setempat, yang melihat kedatangan bule
sebagai momentum yang tidak bisa di lewatkan.
Pernikahan seorang laki-laki berkulit putih, memiliki postur
badan tinggi (bule) dan seorang gadis yang berasal dari Daerah kami, menjadi
klining topic yang hangat di perbincangkan, dalam dunia maya maupun dunia nyata.
Adapun kelompok intelektual yang ikut terlibat dalam aksi jepret atau
berfoto-foto dengan bule, dan hasil dari jepretan dijadikan bahan propaganda bahwa daerah kami
kedatangan bule, seakan bule ini adalah spesies langkah yang harus di lestarika
dan dibudidayakan.
Yang muncul dalam pemikiran masyarakat setempat dan beberapa
kelompok intelektual, kedatangan bule menunjukan daerah yang maju.--terlepas
dari pemikiran masyarakat. perlu pembaca mengetahui bahwa daerah kami masi
tergolong daerah berkembang, dan bahkan menurut saya sendiri masih banyak yang
harus di perbaiki— pemikiran seperti ini sudah lama dianut oleh
masyarakat di daerah kami, akibat dari propaganda media, yang selalu menyiarkan
kondisi pulau bali di berbagai siaran televesi,sehingga mendorong masyarakat
berfikir bahwa bule di butuhkan untuk perkembangan daerah. Adapun masyarakat
yang terkena penyakit rasisme berfikir bahwa kehadiran bule akan merusak anak
bangsa. Keadaan ini tidak menutup kemungkinan terjadi di daerah-daerah lain
Dalam penyakit rasisme orang-orang akan cenderung
mempraktekan diskriminasi. Contohnya orang yang terkena penyakit ini akan
berfikir setiap asing,aseng adalah spesies yang harus di jahui, “ibarat
penyakit yang menakutkan dan mematikan“ penyakit yang lahir dari prodak
penguasa ini, terus di kampanyekan dan meluas sampai ke masyarakat akar rumput.
Dan menjadi senjata politikus untuk menjaga tempatnya, “agar watak tikus yang
suka mencuri keju milik orang tetap bisa di praktekkan” (korupsi).
Singkat cerita, keadaan di atas adalah problem yang terjadi di
daerah kami, mengapa kedatangan bule menjadi problem? Bukan kedatangan bule
yang menjadi problem, tapi praktek-praktek yang lakukan masyarakat dan
Pemerintah adalah problem yang sesegera mungkin harus di selesaikan.
Sejak awal kedatangan bule dengan tujuan berwisata, dan
sampai kedatangan bule yang lain dengan tujuan untuk menikah, telah menunjukan
kepada kita, minimnya kesadaran rezim untuk mensejaterakan rakyat, dan budaya
individualistic yang di anut oleh masyarakat setempat. Mengapa demikian?
Problem yang terjadi didaerah tercintah kita begitu banyak, tapi aparatur
Negara pura-pura tidak tahu apa yang terjadi, kemiskinan yang merajalela,
pengangguran yang membludak sehingga mendorong anak muda kita untuk berfikir
pragmatis dan memilih mencari nafka diDaerah lain untuk masa depan.
Tapi yang disalahkan malahan si miskinnya, entenya aja yang
malas akhirnya miskin, si miskin dengan keadaan tak berdaya, memilih untuk
pasra, dimanakah perhatian hangat pemerintah setempat untuk membantu si miskin?
Kenapa perhatian hangat itu hanya di perlakukan kepada bule.? Apakah karena si
bule mengenakan jam yang mewah, baju yang mahal, sehingga pemerintah
memperlakukannya seperti manusia ajaib?
Tapi si miskin yang bermodalkan dua tangan, dan dua kaki
tidak berhak mendapatkan perhatian yang hangat? Ketika menjelang pesta rakyat, semua penguasa
mendekati mereka, foto bersama ,makan bersama dan semua yang dilakukan
mengatasnamakan rakyat. Si miskin ingin berkata : wahai pemerintah, Aku lelah
di PHP olehmu, serasa harga diriku telah dilecehkan oleh senyummu, saat engkau
sedang tersenyum bahagia, kami sekeluarga sedang menenteskan air mata.
Si miskin ingin bertanya: Wahai pemerintahku, dimana engkau
saat semua hasil pertanian kami di belih dengan harga murah?
Pemerintahku, dimana pasukan militer yang di intruksikan
untuk mengawal bule mengelilingi daerah kami, mengapa ketika perampasan lahan yang
dilakukan oleh pemilik modal, pasukan gagah berani itu tak ada yang mebela
kami? Kedatangan pasukan gagah berani malah untuk membantu pemilik modal
mengusir kami. Di mana perhatian hangat yang seharusnya kami dapatkan?
Bagi para pembaca, beberapa tulisan di atas adalah contoh
problem yang terjadi di daerah kami, antara penguasa dan beberapa sector
masyarakat yang menjadi objek eksploitasi. Kurangnya perhatian terhadap si
miskin tidak hanya terjadi antara rezim dan rakyat, di lingkaran masyarakat itu
sendiri terjadi problem serupa. Seperti
yang saya tuliskan di atas, kedatangan bule menunjukan minimnya kesadaran rezim
untuk mensejaterahkan rakyat, dan budaya individualistic yang di anut oleh
masyarakat setempat.
Hilangnya kolektifisme dalam lingkaran masyarakat adalah
salah satu problem yang sesegera mungkin untuk di selesaikan, budaya
kolektifisme yang terkikis di akibatkan budaya konsumtif, membentuk masyarakat
yang individualistik (ingin menang sendiri). Mengapa demikian? Kembali kita
melihat tulisan di atas, kedatangan bule menjadi perbincangan yang hangat di
daerah kami, untuk memenuhi hasrat konsumtif. Aksi jepret atau foto-foto bareng
bule tidak terhindarkan lagi. Hampir keseluruhan yang foto bareng dengan bule
ingin memperlihatkan kepada orang lain bahwa mereka yang terbaik, dan ada juga yang memkampanyekan issue rasis,
anti asing dan segala macam.
Jika ada yang ingin membantah agument tersebut, biarkanlah
pertanyaan ini yang akan menjadi jawaban dari bantahan kalian, jika bukan
karena ingin memperlihatkan kepada orang lain, apa yang menjadi alasan kalian
untuk mengerumuni bule yang datang? Tindakan yang dilakukan oleh mereka adalah
contoh dari penyakit rasisme dan individualistic.
Budaya individualistic menciptakan manusia menjadi robot dan
berusaha untuk menjadi paling kuat, bahkan berbagai cara akan di lakukan untuk
mengalahkan sainganya, tak heran jika kenapa perhatian terhadap si miskin telah
hilang bahkan dari masyarakat sekitar. Rasa kebersamaan telah tergantikan
dengan rasa takut untuk kalah saing dengn orang lain.
Rasa kepedulian sesama manusia telah tergantikan dengan rasa
ingin menghancurkan lawan, kerja sama hanya kata yang diucapkan tapi dalam
prateknya kerja penindasan, semuanya adalah dampak dari budaya individualistic.
Kehilangan kolektifisme (persatuan) adalah salah satu problem yang harus di
selesaikan oleh kelompok intelektual, sebab membangun kolektifisme adalah salah
satu syarat yang harus di penuhi dalam menyelesikan problem-problem yang
terjadi di Daerah. Walaupun harus di sayangkan adapun kelompok intelektual yang telah terkontaminasi dengan budaya
individualistic.
Sekian tulis dari saya.
Terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar