Minggu, 02 September 2018

Kurang dapat perhatian



Teringat dengan kejadian yang menakjubkan, kedatangan sekelompok bule untuk berwisata. Antusias masyarakat dan pemerintah setempat begitu luar biasa menyambut kedatangan bule, bahkan respon pemerintah setempat menyambut kedatangan bule. menurunkan pasukan militer untuk mengawal perjalanan sekelempok bule mengelilingi daerah kami.

kejadian yang menakjubkan terulang kembali beberapa hari yang lalu, sekelempok bule tiba di Daerah kami, dengan tujuan yang berbedah. Kedatangan mereka yang pertama, bertujuan untuk berwisata,tetapi kedatangan mereka kali ini bertujuan untuk melaksanakan pernikahan dengan seorang gadis yang berasal dari Daerah kami.
Persoalannya bukan terdapat pada siapa yang menjadi istrinya, dan siapa yang menjadi papa dan mama mantunya, tetapi pada respon mayoritas masyarakat dan pemerintah setempat, yang melihat kedatangan bule sebagai momentum yang tidak bisa di lewatkan.

Pernikahan seorang laki-laki berkulit putih, memiliki postur badan tinggi (bule) dan seorang gadis yang berasal dari Daerah kami, menjadi klining topic yang hangat di perbincangkan, dalam dunia maya maupun dunia nyata. Adapun kelompok intelektual yang ikut terlibat dalam aksi jepret atau berfoto-foto dengan bule, dan hasil dari jepretan  dijadikan bahan propaganda bahwa daerah kami kedatangan bule, seakan bule ini adalah spesies langkah yang harus di lestarika dan dibudidayakan.

Yang muncul dalam pemikiran masyarakat setempat dan beberapa kelompok intelektual, kedatangan bule menunjukan daerah yang maju.--terlepas dari pemikiran masyarakat. perlu pembaca mengetahui bahwa daerah kami masi tergolong daerah berkembang, dan bahkan menurut saya sendiri masih banyak yang harus di perbaikipemikiran seperti ini sudah lama dianut oleh masyarakat di daerah kami, akibat dari propaganda media, yang selalu menyiarkan kondisi pulau bali di berbagai siaran televesi,sehingga mendorong masyarakat berfikir bahwa bule di butuhkan untuk perkembangan daerah. Adapun masyarakat yang terkena penyakit rasisme berfikir bahwa kehadiran bule akan merusak anak bangsa. Keadaan ini tidak menutup kemungkinan terjadi di daerah-daerah lain

Dalam penyakit rasisme orang-orang akan cenderung mempraktekan diskriminasi. Contohnya orang yang terkena penyakit ini akan berfikir setiap asing,aseng adalah spesies yang harus di jahui, “ibarat penyakit yang menakutkan dan mematikan“ penyakit yang lahir dari prodak penguasa ini, terus di kampanyekan dan meluas sampai ke masyarakat akar rumput. Dan menjadi senjata politikus untuk menjaga tempatnya, “agar watak tikus yang suka mencuri keju milik orang tetap bisa di praktekkan” (korupsi).

Singkat cerita, keadaan di atas adalah problem yang terjadi di daerah kami, mengapa kedatangan bule menjadi problem? Bukan kedatangan bule yang menjadi problem, tapi praktek-praktek yang lakukan masyarakat dan Pemerintah adalah problem yang sesegera mungkin harus di selesaikan.
Sejak awal kedatangan bule dengan tujuan berwisata, dan sampai kedatangan bule yang lain dengan tujuan untuk menikah, telah menunjukan kepada kita, minimnya kesadaran rezim untuk mensejaterakan rakyat, dan budaya individualistic yang di anut oleh masyarakat setempat. Mengapa demikian? Problem yang terjadi didaerah tercintah kita begitu banyak, tapi aparatur Negara pura-pura tidak tahu apa yang terjadi, kemiskinan yang merajalela, pengangguran yang membludak sehingga mendorong anak muda kita untuk berfikir pragmatis dan memilih mencari nafka diDaerah lain untuk masa depan.

Tapi yang disalahkan malahan si miskinnya, entenya aja yang malas akhirnya miskin, si miskin dengan keadaan tak berdaya, memilih untuk pasra, dimanakah perhatian hangat pemerintah setempat untuk membantu si miskin? Kenapa perhatian hangat itu hanya di perlakukan kepada bule.? Apakah karena si bule mengenakan jam yang mewah, baju yang mahal, sehingga pemerintah memperlakukannya seperti manusia ajaib?

Tapi si miskin yang bermodalkan dua tangan, dan dua kaki tidak berhak mendapatkan perhatian yang hangat?  Ketika menjelang pesta rakyat, semua penguasa mendekati mereka, foto bersama ,makan bersama dan semua yang dilakukan mengatasnamakan rakyat. Si miskin ingin berkata : wahai pemerintah, Aku lelah di PHP olehmu, serasa harga diriku telah dilecehkan oleh senyummu, saat engkau sedang tersenyum bahagia, kami sekeluarga sedang menenteskan air mata.

Si miskin ingin bertanya: Wahai pemerintahku, dimana engkau saat semua hasil pertanian kami di belih dengan harga murah?
Pemerintahku, dimana pasukan militer yang di intruksikan untuk mengawal bule mengelilingi daerah kami, mengapa ketika perampasan lahan yang dilakukan oleh pemilik modal, pasukan gagah berani itu tak ada yang mebela kami? Kedatangan pasukan gagah berani malah untuk membantu pemilik modal mengusir kami. Di mana perhatian hangat yang seharusnya kami dapatkan?

Bagi para pembaca, beberapa tulisan di atas adalah contoh problem yang terjadi di daerah kami, antara penguasa dan beberapa sector masyarakat yang menjadi objek eksploitasi. Kurangnya perhatian terhadap si miskin tidak hanya terjadi antara rezim dan rakyat, di lingkaran masyarakat itu sendiri terjadi problem  serupa. Seperti yang saya tuliskan di atas, kedatangan bule menunjukan minimnya kesadaran rezim untuk mensejaterahkan rakyat, dan budaya individualistic yang di anut oleh masyarakat setempat.

Hilangnya kolektifisme dalam lingkaran masyarakat adalah salah satu problem yang sesegera mungkin untuk di selesaikan, budaya kolektifisme yang terkikis di akibatkan budaya konsumtif, membentuk masyarakat yang individualistik (ingin menang sendiri). Mengapa demikian? Kembali kita melihat tulisan di atas, kedatangan bule menjadi perbincangan yang hangat di daerah kami, untuk memenuhi hasrat konsumtif. Aksi jepret atau foto-foto bareng bule tidak terhindarkan lagi. Hampir keseluruhan yang foto bareng dengan bule ingin memperlihatkan kepada orang lain bahwa mereka yang terbaik,  dan ada juga yang memkampanyekan issue rasis, anti asing dan segala macam.

Jika ada yang ingin membantah agument tersebut, biarkanlah pertanyaan ini yang akan menjadi jawaban dari bantahan kalian, jika bukan karena ingin memperlihatkan kepada orang lain, apa yang menjadi alasan kalian untuk mengerumuni bule yang datang? Tindakan yang dilakukan oleh mereka adalah contoh dari penyakit rasisme dan individualistic.

Budaya individualistic menciptakan manusia menjadi robot dan berusaha untuk menjadi paling kuat, bahkan berbagai cara akan di lakukan untuk mengalahkan sainganya, tak heran jika kenapa perhatian terhadap si miskin telah hilang bahkan dari masyarakat sekitar. Rasa kebersamaan telah tergantikan dengan rasa takut untuk kalah saing dengn orang lain.

Rasa kepedulian sesama manusia telah tergantikan dengan rasa ingin menghancurkan lawan, kerja sama hanya kata yang diucapkan tapi dalam prateknya kerja penindasan, semuanya adalah dampak dari budaya individualistic. Kehilangan kolektifisme (persatuan) adalah salah satu problem yang harus di selesaikan oleh kelompok intelektual, sebab membangun kolektifisme adalah salah satu syarat yang harus di penuhi dalam menyelesikan problem-problem yang terjadi di Daerah. Walaupun harus di sayangkan adapun kelompok intelektual  yang telah terkontaminasi dengan budaya individualistic.
Sekian tulis dari saya.
Terima  kasih



Share:

Kamis, 16 Agustus 2018

Memperbaiki Jalan Menuju Revolusi Lebih Baik dari pada Membabi-buta dalam Menginterfensi Politik Elektoral


Setingan aksi masarakat Desa Panilan Jaya, Kec.Tiloan, Kab.Buol. Foto: Dokumentasi SPR.
Oleh: Jason Mandagi (Opo)
Anggota Partai Rakyat pekerja

Kembali lagi kita diperhadapkan dengan pesta demokrasi borjuasi yang setiap lima tahun sekali diselenggarakan, dimana momen ini merupakan panggung bagi partai politik borjuis. Semua elemen masyarakat ikut mengambil peran masing-masing. Tak terkecuali kelompok pergerakan, pun terbawa arus dalam pesta demokrasi ala borjuis ini. Dari setiap kelompok pergerakan yang terlibat langsung dalam agenda ini, __entah terlibat secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi__ masing-masing memiliki alasan dan tujuan tertentu.

Kita tidak mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang diinginkan oleh kelompok pergerakan yang ikut dukung mendukung Capres dan Cawapres pada Pemiihan Umum (Pemilu) 2019. Yang jelas hanya ada dua kemungkinan latar belakang dari gerakan mereka. Yang pertama adalah untuk kepentingan diri sendiri, yang kedua adalah untuk merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat.

Jika alasan yang mereka ambil adalah alasan yang disebut terakhir, maka kita harus kembali membahas permasalahan mendasar dalam perjuangan kelas. Tentu saja tentang perebutan kekuasaan (dalam hal ini kekuasaan Negara). Karena memang untuk menggulingkan kapitalisme, kekuasaan Negara yang dikendalikan oleh sistem yang tidak manusiawi harus terlebih dulu direbut.

Sebelum kita lanjut pada inti pembahasan dari tulisan ini, perlu kita ketahui bersama, apa yang dimaksud dengan Negara? Sehingga perlu untuk merebutnya.

Untuk itu kita perlu merujuk ke salah satu tulisan Max Weber, yang mengulas tentang Negara. Dalam eseinya yang berjudul “Politics as a Vocation” atau bila diterjemahkan secara kasar menjadi “Politik Sebagai Suatu Panggilan,” Weber mengulas tentang Negara serta menciptakan ungkapan yang sangat terkenal yaitu ‘Negara adalah pemegang monopoli atas penggunaan kekerasan.’ Di dalam Negara modern, tidak ada pihak lain yang boleh menggunakan kekerasan di luar lembaga resmi yang dikendalikan oleh Negara.[1]

Apakah Negara itu? Weber secara tegas di awal eseinya mengatakan bahwa Negara adalah sebuah asosiasi politik. Dia mengutip Trotsky yang mengatakan “setiap Negara didirikan dengan kekuatan (force).” Dari sinilah, saya kira, Weber beranjak menuju teorinya tentang Negara sebagai pemegang monopoli atas kekerasan. Itulah sebabnya Negara modern, dalam perspektif Weberian, tidak akan pernah mengenal organisasi seperti PAM Swakarsa, misalnya. Apalagi milisi-milisi yang merasa berhak untuk memaksakan kehendaknya. Para ilmuwan sosial kemudian mengategorikan negara seperti ini sebagai negara lemah (weak-state) atau kalau negara sama sekali tidak mampu memonopoli kekerasan akan disebut sebagai negara gagal (failed-state). Negara seperti Pakistan atau Haiti, yang tidak mampu mengendalikan kelompok-kelompok bersenjata dalam teritorinya disebut sebagai negara gagal. Secara umum, negara-negara sedang berkembang adalah negara lemah.

Selain Max Weber, V.I. Lenin juga pernah menuliskan tentang Negara berdasarkan pandangan Marxis dalam bukunya yang berjudul “Negara dan Revolusi.” Menurut Lenin Negara adalah alat dari suatu kelas yang berkuasa untuk menindas kelas yang dikuasai. [2]

Itulah dua teori yang memberikan gambaran tentang apa itu Negara dan seperti apa peran Negara.

Setelah kita sama-sama mengetahui arti dari keberadaan Negara, mari kita masuk untuk menganlisis manufer politik yang dilakukan oleh kelompok pergerakan yang ikut dukung mendukung Capres dan Cawapres pada Pemilu 2019, berdasarkan kedua teori tersebut.

Jika alasan kelompok pergerakan mendukung Capres dan Cawapres adalah untuk merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat, maka sama saja mereka sedang menuju jalan kekonyolan, atau bahkan sedang bunuh diri. Kenapa demikian? Kita tahu bersama Capres dan Cawapres yang akan bertarung berasal dari partai borjuasi. Dimana partai-partai inilah yang sedang mengendalikan Negara melalui kader-kadernya __kalau tidak mau disebut petugas partai.

Tidak kah mereka (kelompok pergerakan) yang mendukung Capres dan Cawapres menyadari bahwa memenangkan salah satu calon, sama halnya dengan ikut menyerakan kekuasaan Negara ke tangan kaum borjuasi? Serta melegitimasi kaum borjuis untuk melanggengkan penindasan.

Namun penulis tidak begitu yakin bahwa kelompok pergerakan ini tidak memahami hal tersebut, karena hampir semua kelompok pergerakan di Indonesia melahap teori-teori revolusioner, tidak terkecuali kedua teori yang disebutkan di atas. Jika demikian, maka alasan untuk merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat adalah semata-mata suatu dalil pembenaran.

Sementara itu, terdapat pula kelompok pergerakan yang tidak/belum mendukung calon manapun dan sampai saat ini masih meyakini bahwa alat politik alternatif (dalam hal ini partai revolusioner) adalah solusi untuk merubah tatanan sosial menuju masyarakart yang adil, setarah dan sejahtera. Sedangkan penulis secara individu belum berfikir bahwa alat politik alternatif, saat ini telah menjadi suatu kebutuhan bagi massa rakyat, walaupun penulis harus mengakui bahwa alat politik alternatif adalah solusi untuk merubah sistem yang tidak manusiawi (kapitalisme).

Argument tersebut akan menimbulkan pertanyaan, “Mengapa alat politik alternatif saat ini belum menjadi kebutuhan massa rakyat?” Jawabannya sederhana, yang menganggap perlunya alat politik alternatif saat ini sebagai suatu kebutuhan bagi perjuangan rakyat hanyalah kelompok pelopor atau unsur maju dari kelompok pergerakan. Sementara basis massa rakyat atau massa di akar rumput belum sampai pada kesadaran perlunya alat politik alternatif.

Berbagai praktek lapangan dan realita yang terjadi di basis massa menjadi tolak ukur penulis, sehingga berfikir bahwa politik alternatif belum bisa dikatakan sebagai kebutuhan massa rakyat melainkan masih sekedar tawaran untuk massa rakyat. Minimnya kesadaran politik terhadap massa rakyat adalah problem yang harus di selesaikan (kontradiksi pokok). Saat ini kesadaran massa rakyat masih pada tatanan kesadaran ekonomi (normatif) belum sampai pada kesadaran politik.

“Bagaimana mungkin kita memberikan perahu pada seseorang, sementara orang itu belum tahu cara memancing ikan, dan bahkan orang itu tidak mau menjadi seorang nelayan?”

Sama halnya dengan alat politik alternatif, penulis memanggap alat politik alternative atau partai revolusioner  adalah perahu menuju kekuasaan dan merubah sistem, tapi di satu sisi kader partai revolusioner belum siap untuk berpartai, kita bisa lihat realitas tersebut dari kader partai revolusioner yang ada saat ini, apakah kader partai sudah disiplin? Apakah kader partai mampu menerapkan kritik oto kritik? Apakah kader partai sudah berkualitas? Apakah kader partai sudah siap terpimpin atau sebaliknya hanya siap memimpin? Apakah kesadaran kader partai sudah merata?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang selalu melintas dalam pikiran penulis. Tanpa sadar terkadang kita mengabaikkan pertanyaan-pertanyaan tersebut karena ego. Hal ini mengingatkan kita pada seorang filsuf, Sigmund freud. Dia mengatakan “karakter utama manusia adalah sering mengeluarkan ego di alam bawah sadar, sehingga ia sendiri tak menyadari bahwa itu bagian dari ego.”[3]

Setelah kita memetakan kesadaran kader partai, berikutnya marilah kita memetakan kesadaran massa rakyat, apakah massa rakyat sudah sampai pada kesadaran politiknya?

“Itulah tugas kita untuk memberikan kesadaran pada massa rakyat.” Mungkin seperti itulah bantahan dari pertanyaan di atas.

Benar bahwa hal itu menjadi tugas kita! Tetapi kita tahu bersama adanya hukum perubahan, dimana dalam perubahan suatu material terdapat faktor eksternal dan internal. Untuk menghasilkan perubahan, faktor eksternal hanya mampu mempengaruhi faktor internal dan yang menentukan perubahan suatu material adalah faktor internal itu sendiri.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika faktor internalnya tidak bisa dipengaruhi akibat faktor eksternal yang tidak/belum memiliki kesadaran politik? Artinya bagaimana mungkin seorang kader mampu memberikan kesadaran politik bagi massa rakyat, sementara dirinya sendiri belum sepenuhnya memiliki kesadaran politik. Dengan kondisi seperti itu, seolah-olah kita melupakan hal yang sebenarnya sama-sama kita ketahui yaitu kapitalisme bukan suatu sistem yang baku, __sama halnya dengan MDH bukan suatu ajaran yang baku__ karenannya kapitalisme akan terus memperbaharui cara dalam mendominasi kesadaran massa rakyat. Bahkan tendensi krisis kapital sekalipun, kapitalisme mampu meng-counter-nya.

Dengan menyadari hal tersebut, bukankah kita yang terlalu cepat ingin menang? Sementara melupakan konsekuensi yang dapat menjerumuskan gerakan untuk mengulangi kegagalan-kegagalan perjuangan sebelumnya.

Walaupun penulis juga meyakini bahwa adanya partai politik alternatif di haruskan dalam perjuangan kelas, tetapi kita tidak bisa meninggalkan kesadaran massa rakyat dan juga tak bisa meremehkan kekuatan kapitalisme yang telah terbangun berabad-abad lamanya.

Dengan segala keterbatasan dan kurangnya referensi yang dimiliki penulis, maka penulis meminta tanggapan dari pembaca sekalian.

Terakhir, satu pesan untuk menutup tulisan ini; “Tanggung jawab pelopor gerakan adalah mengimbangi kesadaran massa rakyat bukan meninggalkan kesadaran massa rakyat demi kemenangan sesaat, yang menjadi suatu kekonyolan, diakibatkan mengulangi kegagalan perjuangan sebelumnya.” Sekian dan terima kasih.

Di edit oleh: Zulkifly lamading

Catatan:




Share:

Rabu, 24 Januari 2018

Urbanisasi Penduduk bukan Solusi

Urbanisasi Penduduk bukan solusi
Jason Mandagi.
Perkembangan zaman terus berjalan sampai saat ini, dari zaman komune primitive sampai pada zaman kapitalisme saat ini adalah bentuk dari dealektika.
Di era kapitalistik saat ini, hampir rata-rata semua penduduk Indonesia menjadi buruh dan petani, dan dengan berkembangnya alat produksi di suatu industri malah membuat tersingkirnya tenaga-tenaga produktif yang berada di perusahaan, hampir semua tenanga produktif digantikan oleh mesin yang sudah direvolusikan di zaman kapitalisme.
Seiring dengan perkembangan alat produksi yang semakin moderent, maka jumlah pengangguran semakin membludak, rakyat kebingungan untuk mendapatkan uang, ibarat seekor burung kehilangan sangkarnya , kesana kemari membawa surat lamaran kerja, dengan bermodalkan satu lembar kertas ijaza. Tak kenal lelah, tak kenal hujan, panas, debu yang bertumpuk diwajah yang lusu dan kusam.
Tanpa mereka sadari emas mereka yang dirampas, tanah mereka yang di curi, sumber daya alam milik mereka yang di kelola oleh perusahan transnasional, dan mereka sulit mendapat pekerjaan, mereka menjadi budak di negri sendiri, contoh kongkret yang bisa kita lihat hari ini adalah rakyat papua yang sementara memperjuangkan nasib mereka, gunung emas yang ada di timika adalah milik rakyat papua, tapi mereka malah menjadi budak dari perusahaan transnasional.
Dengan keadaan yang mereka alami malah membentuk pola berfikir mereka untuk melakukan urbanisasi. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya urbanisasi.
Faktor penarik
Kehidupan kota yang lebih modern
Sarana dan prasarana kota lebih lengkap
Banyak lapangan pekerjaan di kota
Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi lebih baik dan berkualitas
Faktor pendorong
Lahan pertanian semakin sempit
Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya
Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa
Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
Diusir dari desa asal
Memiliki impian kuat menjadi orang kaya
Dan beberapa akibat yang akan terjadi kepada penduduk yang melakukan Urbanisasi, akibatnya sebagai berikut:
Akibat urbanisasi
Terbentuknya suburb tempat-tempat permukiman baru dipinggiran kota
Makin meningkatnya tuna karya (orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap)
Masalah perumahan yg sempit dan tidak memenuhi persyaratan kesehatan
Lingkungan hidup tidak sehat, timbulkan kerawanan sosial dan criminal
Tanpa mereka sadari memilih untuk melakukan urbanisasi, adalah hal yang dapat merugikan mereka, karena akan  terjadinya penannam politik upah murah. Diskrimanasi terhadapap pekerja akan terjadi karena akan bertambanya  penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, dan mereka akan memilih dan siap untuk menjadi pekerja out sorsing, atau tenaga kerja kontrak, dan bahkan pekerja out sorsing lebih parah dibanding pekerja kontrak.
Pekerja kontrak memiliki  jaminan kesehatan, tapi pekerja out sorsing tak memiliki jaminan kesehatan, dengan terjadinya urbanisasi di suatu kota maka secara otomatis akan meningkatnya populasi manusia di suatu kota, dan tanpa mereka sadari, mereka akan mengalami krisis ekonomi politik (eko-pol).
Krisis ekopol dapat menyebabkan berbagai macam permasalah yang mucul di tengah-tengah kehidupan sosial budaya (sos-bud), akan semakin banyak manusia yang akan menjadi proletar dan lumpen ploretar. Tak hanya sebatas itu, diskriminasi kaum perempuan akan terjadi, PSK adalah dampak dari krisis ekopol, pelaku criminal adalah dampak dari krisis ekopol.
Meningkatnya populasi masyarakat, secara otomatis akan semakin banyak tenaga produktf siap pakai, persaingan tenaga kerja akan terjadi, dan akan berdampak sampai pada pola pemikiran rakyat pekerja, pemahaman untuk membela perusahaan yang telah mendiskriminasi mereka selama mereka bekerja di perusahaan tersebut adalah satu dampak dari krisis ekopol.
Rakyat pekerja dengan  mudahnya akan di bungkam, karena mereka takut kehilangan pekerjaan mereka, sebab kerja adalah suatu keharusan bagi semua manusia untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka.
Target eksploitasi ( rate of exploitation) semakin meningkat, dan target empuk kelas kapitalis adalah kaum feminism, dengan memanfaatkan budaya patriarki, sehingga kaum perempuan lebih mudah terekploitasi di banding kaum laki-laki.
Keadaan sosial seperti inilah yang membuat pola berfikir manusia menjadi sempit, dan bahkan cara berfikir para sarjana ikut menjadi sempit, seorang sarjana ekonomi lebih berfikir untuk menjadi seorang buruh, seorang sarajana administrasi Negara lebih banyak berfikir untuk menjadi honorel, rakyat Indonesia di bentuk menjadi mental budak, sarjana cetusan universitas lebih banyak menjadi budak di negri sendiri, dan bahkan menjadi budak di negri orang lain.
Pernah kah kita berfikir bahwa disiplin ilmu yang kita belajar tidak harus menjadi profesi kita, siapa pernah menyangka seorang che goevera sarjana kedokteran malah mampu membangun Negara kuba, siapa pernah menyangkan iya ternyata menjadi meteri perekonomian, iya tak menjadi mentri kesehatan.
Siapa pernah menyangka seorang bill gates yang tak menyelesaikan kuliahnya, ia orang yang sering bolos kuliah, tapi ia mampu menemukan miccrosoft yang sekarang di gunakan oleh kids zaman now, yang di gunakan oleh kalian, sumbangsinya untuk peradaban dunia begitu besar, tapi ia bukann seorang yang rajin masuk kuliah, rajin kerja tugas kampus, nila IPK yang tinggi, tidak, si jenius bill gates seorang yang mampu membuat peradaban dunia dengan kemampuannya, bukan dengan budak, bukan dengan nilai IPK yang tinggi, bukan dengan bimbingan dosen, dan bukan karena bantuan pemerintah.
Bahkan soekarno tidak menjadi revolusioner dari dunia kampus.
Mereka yang saya sebutkan di atas adalah contoh  bahwa pola berfikir kita sekarang  telah di intervensi oleh sistem kapitalis, dan capital.
Sehingga begitu banyak yang berfikir urbanisasi adalah solusi bagi pengangguran, adalah solusi untuk penduduk desa, urbanisasi sebenarnya adalah sistem peninggalan colonial belanda yang telah di perhalus bahasanya, tapi sistem dalam urbanisasi adalah bagian dari politik etis, yang ditanamkan oleh tentara belanda tgl 1 septemmber 1901.
yaitu:
Dedukasi
Irigasi
Imigrasi penduduk
Politik etis adalah politik balas budi yang saat ini menjadi budaya masyarakat Indonesia, semuanya adalah peninggalan colonial belanda yang sempat berkuasa di nusantara selama satu stengah abad, atau 150 tahun.
Silakan mencari kesimpulan dari tulisan di atas.
25 januari 2018, ku duduk, dan merenung.
Berlandaskan tanah, berpayungkan awan.
Di persimpangan kiri jalan, ku berdiri dan menatap tangisan rakyat.
Bagaimana mungkin aku bungkam..?
Jika Negara ini tak adil.
Bagaimana mungkin aku melawan.?
Jika massa tak berteriak.
Bagaimana mungkin aku menang..?
Jika rakyat belum berkuasa.
Kan ku tunggu, rakyat menjadi hakim.
Kau suruh bangun rumah, aku bangun rumah kau malah menggusurnya.
Kau suruh aku makan, aku mau makan kau malah membunuhku.
Kau ini bagaimana..?
Atau aku yang bagaimana..?
Diam bukan lagi emas, sebab emas telah di rampas.
Tiada kata, selain kata LAWAN.
Share:

Definition List

Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Cari Blog Ini

Ordered List

Recent Posts

Unordered List

Featured Post

Tergerusnya gerakan feminisme dalam ruang-ruang subjektifisme

Tergerusnya   gerakan feminisme dalam ruang-ruang subjektifisme Bukan sesuatu yang asing lagi mengenai persoalan perempuan, sejak per...

Pages

Theme Support