May
Day adalah hari buruh sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Mey disetiap
tahunnya oleh rakyat pekerja/buruh di seluruh penjuruh dunia. Momentum May Day
dalam tradisi rakyat pekerja/buruh dijadikan sebagai hari kemenangan sekaligus
hari perlawanan rakyat pekerja/buruh. Tuntutan untuk mensejahterakan rakyat
pekerja/buruh pun selalu dilayangkan kepada rezim penguasa, baik tuntutan normatif
maupun tuntutan politis. Rentetan peristiwa sejarah perlawanan kaum buruh
sepanjang abad ke 19 seiring dengan industrialisasi di benua Eropa atau sering
disebut revolusi industi, dengan kondisi kerja yang tidak layak dan jam kerja
yang panjang, berkisar 16-20 jam kerja sehari, menyebabkan perlawanan kaum
buruh terjadi dimana-mana. Puncaknya terjadi di Chicago, AS pada tahun 1886,
sekitar 50.000 buruh bertumpah ruah turun kejalan, dengan tuntutan pengurangan
jam kerja menjadi 8 Jam sehari. Namun bentrokan antar kaum buruh yang dipimpin
oleh kaum revolusioner dengan aparat keamanan
menyebabkan tertembaknya 4 orang aktivis buruh dan puluhan orang lainnya
luka-luka. Meskipun demikian, tuntutan pengurangan jam kerja menjadi 8 jam
sehari baru terpenuhi setelah 3 tahun berselang, yaitu pada 1 Mey 1889.
Meski
sejak hari itu sampai dengan sekarang peraturan 8 jam kerja sehari telah
diberlakukan di seluruh dunia, tidak lantas perjuangan kaum buruh berakhir. Sebab
tuntutan kesejahteraan buruh dan rakyat lainnya harus tetap diteriakkan. Apa
lagi seiring perkembangan zaman dan semkin matangnya penindasan dan penghisapan
melalui system kapitalisme, menyebabkan kontradiksi kelas semakin meruncing
antar kelas proletariat dengan kelas kapitalis. Di Indonesia tidak terkecuali,
dominasi kelas kapitalis terhadap kelas proletar semakin menjadi, hal ini tidak
lepas dari peran Negara yang saat ini dikendalikan oleh kekuatan modal
kapitalis global melalui negara-negara Imperialis dunia.
Sehingga
tidak heran jika begitu banyak kebijakan pemerintah Indonesia yang “katanya”
bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, namun “nyatanya” malah menjerumuskan
rakyat kedalam jurang ketertindasan. Di tahun 2015 contohnya, pemerintah
mengeluarkan Peraturan nomor 78 tentang Pengupahan (PP78/2015). Peraturan ini
ditujukan untuk melanggengkan penghisapan dan penindasan kelas pemodal terhadap
kelas buruh, dimana penetapan Upah Minimuim baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota
(UMP dan UMK) tidak lagi berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seorang buruh
melainkan berdasarkan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi, selain itu PP78/2015
juga telah mengkebiri hak Serikat Pekerja dalam perundingan penetapan upah
minimum. Hal ini jelas bertentangan dengan UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, UU No.21 tahun 2000 tantang Serikat Pekerja/Buruh dan Konvensi
ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat.
Di
tengah kontroversi PP78/2015 yang sangat merugikan kaum buruh di seluruh
Indonesia tidak terkecuali Sulawesi Tengah, pada tanggal 14 Maret 2017 kemarin
Gubernur Sulawesi Tengah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) No.10 tahun
2017 tentang pungutan dan sumbangan pada Sekolah Menengah Atas, Sekolah
Menengah Kejuruan dan Sekolah Luar Biasa yang diberlakukan untuk seluruh orang
tua wali, dan Pergub No.10/2017 juga diserukan di semua kabupaten/Kota yang ada
di Sulteng tidak terkecuali Daerah yang memiliki program pendidikan gratis
seperti Kabupaten Buol. Jika melihat standar UMP Sulawesi Tengah yang masih berada
di anggka Rp. 1.807.775
dengan skema penetapan Upah Minimum yang tidak lagi berdasarkan KHL, maka
dengan ditetapkannya Pergub No.10/2017 dengan standar pungutan yang berpariasi,
jelas akan semakin mempersulit anak seorang buruh untuk mengenyam pendidikan.
Kesadaran Pemuda/Mahasiswa Dalam
Memandang Kondisi Sosial.
Aliansi Muda Peduli Buruh (AMPUH) lahir dari kesadaran
Pemuda/Mahasiswa yang peka menganalisis
kondisi socialnya. Di zaman kapitalistik yang segalanya serba mengedepankan
modal telah menyulap pola pikir rakyat hari ini menjadi pragmatis, tak ada lagi
yang menghargai usaha dan proses. Sebagian besar rakyat (jika tidak dapat
dikatakan semuannya) mengharapkan hal-hal yang praktis, yang belum tentu
menguntungkan bagi rakyat itu sendri, tetapi sudah pasti menguntungkan bagi
segelintir orang yang memiliki modal dalam skala besar. Seperti halnya praktek Politik
Upah Murah, yang tak ubahnya mengembalikan peradaban manusia kezaman
perbudakan, dimana para budak tidak mendapatkan upah selain ‘makan’ untuk bertahan
hidup agar tetap dapat diperbudak demi keuntungan tuan budaknya. Di zaman
modern yang katanya kaum budak telah dibebaskan dari perbudakan, kini menjelma
menjadi kaum buruh yang diberi upah murah yang jika dihitung hanya cukup untuk
‘makan’. Inilah praktek Politik Upah Murah atau Perbudakan Modern.
Sementara
itu rezim Jokowi-JK yang menghamba pada kekuatan modal asing Trinitas IMF
(International Monetery Fund) World Bank (Bank Dunia) dan WTO (World Trade
Organization) yang menganut system ekonomi Neo-Liberal, tidak dapat diharapkan
untuk mengangkat derajat 51% penduduk Indonesia yang berada di bawah garis
kemiskinan (berdasarkan standar World Bank) untuk disejahterakan, sedangkan
pengangguran masih membludak yaitu sebanyak 7,02 juta jiwa. Tenaga kerja muda
usia 15 sampai 24 tahun adalah jumlah jauh lebih tinggi dari angka rata-rata
pengangguran secara nasional. Mahasiswa yang baru lulus dari universitas dan
siswa sekolah kejuruan dan menengah mengalami kesulitan menemukan pekerjaan di
pasar kerja nasional. Pun rakyat yang hanya memiliki ijazah sekolah dasar saja
sangat tinggi, yaitu 997.554 orang. Maka tidak heran jika ada begitu banyak
Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih bermigrasi ke negara lain sekedar
untuk mendapatkan pekerjaan. Untuk saat ini terdata (Legal) sekita 7 juta jiwa
WNI yang sedang mengais rejeki di Luar Negeri, sedangkan yang Ilegal lebih
tinggi dari jumlah TKI Legal.
Alih-alih
membuka lapangan kerja di dalam negeri, rezim Jokowi-JK malah memfokuskan
penggunaan APBN 2017 untuk pembangunan Infrastruktur di seluruh Indonesia, dari
Sabang sampai Marauke, Mulai dari pelebaran jalan, pembangunan jalan Tol,
jembatan, pembangunan bandara Internasional, pelanuhan Internasional dan
lain-lain yang menghabiskan dana APBN sekitar Rp.378,7 Triliun. Yang sumber
dananya di dapat dari, selain pajak juga dari hutang luar negeri (IMF dan World
Bank).
Untuk siapa pembangunan
Infrastruktur itu ? Benarkah
kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya membutuhkan semua Infrastruktur itu ?
TIDAK!!! Semua itu diperntukan bagi kelas kapitalis untuk mempermulus
distribusi modal hingga ke pelosok daerah yang ada di Indonesia.
Dari
kondisi inilah yang mendorong pemuda/mahasiswa yang sadar menyatukan diri
kedalam sebuah wadah perjuangan bersama rakyat tertindas untuk menyuarakan
hak-hak kaum tertindas. Melalui momentum May
Day 2017, sejumlah organisasi mahasiswa dan kepemudaan yang menyebut
dirinya “AMPUH” berkomitmen untuk
memperjuangkan hak kaum buruh dan rakyat lainnya dalam bentuk pengawalan ketat
kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dalam hal memajukan kesejateraan rakyat.
Tidak cukup hanya sampai disitu, AMPUH juga
berkomitmen untuk memajukan kesadaran buruh dan rakyat lainnya baik secara
ekonomis maupun politis, agar tidak lagi dengan mudah menerima hal-hal yang
praktis yang pada akhirnya merugikan kaum buruh dan rakyat lainnya hingga menghantarkan
mereka ke depan pintu gerbang kemiskinan dan kemelaratan.
Karenanya Aliansi Muda Peduli Buruh
(AMPUH) menyeruhkan tuntutan:
1.Lawan
Kebijakan Ekonomi Politik Kapitalisme dan Bangun Kekuatan Ekonomi Alternatif
Berbasis Kerakyatan;
2.Cabut PP
78/2015 Tentang Pengupahan;
3.Dorong
Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Tentang Perburuhan dan Ormas Gerakan;
4.Hentikan
Diskriminasi Terhadap Pekerja Perempuan;
5.Hentikan
Union Busting;
6.Berikan
Jaminan Transformatif Kepada Seluruh Rakyat;
7.Tolak
Pergub Nomor 10 Tahun 2017;
8.Transparansi
Seleksi Pegawai Non ASN;
9.Pengawasan
Ketat Terhadap Investasi.
Nara Hubung:
Korlap:
Zulkifly Lamading (082261078948)
Wakorlap:
Kasim Dahlan (082346109713)
AMPUH : SPR,
IMM, PRP, HMI, GP.BURU