Oleh: Jason Mandagi (Opo)
Anggota Partai Rakyat pekerja
Kembali lagi kita
diperhadapkan dengan pesta demokrasi borjuasi yang setiap lima tahun sekali
diselenggarakan, dimana momen ini merupakan panggung bagi partai politik
borjuis. Semua elemen masyarakat ikut mengambil peran masing-masing. Tak
terkecuali kelompok pergerakan, pun terbawa arus dalam pesta demokrasi ala
borjuis ini. Dari setiap kelompok pergerakan yang terlibat langsung dalam
agenda ini, __entah terlibat secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi__ masing-masing memiliki alasan dan tujuan
tertentu.
Kita tidak
mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang diinginkan oleh kelompok pergerakan
yang ikut dukung mendukung Capres dan Cawapres pada Pemiihan Umum (Pemilu)
2019. Yang jelas hanya ada dua kemungkinan latar belakang dari gerakan mereka.
Yang pertama adalah untuk kepentingan diri sendiri, yang kedua adalah untuk
merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat.
Jika alasan yang
mereka ambil adalah alasan yang disebut terakhir, maka kita harus kembali
membahas permasalahan mendasar dalam perjuangan kelas. Tentu saja tentang
perebutan kekuasaan (dalam hal ini kekuasaan Negara). Karena memang untuk
menggulingkan kapitalisme, kekuasaan Negara yang dikendalikan oleh sistem yang
tidak manusiawi harus terlebih dulu direbut.
Sebelum kita lanjut
pada inti pembahasan dari tulisan ini, perlu kita ketahui bersama, apa yang
dimaksud dengan Negara? Sehingga perlu untuk merebutnya.
Untuk itu kita
perlu merujuk ke salah satu tulisan Max Weber, yang mengulas tentang Negara.
Dalam eseinya yang berjudul “Politics as a Vocation” atau bila diterjemahkan
secara kasar menjadi “Politik Sebagai Suatu Panggilan,” Weber mengulas tentang
Negara serta menciptakan ungkapan yang sangat terkenal yaitu ‘Negara adalah pemegang
monopoli atas penggunaan kekerasan.’ Di dalam Negara modern, tidak ada pihak
lain yang boleh menggunakan kekerasan di luar lembaga resmi yang dikendalikan
oleh Negara.[1]
Apakah Negara itu?
Weber secara tegas di awal eseinya mengatakan bahwa Negara adalah sebuah
asosiasi politik. Dia mengutip Trotsky yang mengatakan “setiap Negara didirikan
dengan kekuatan (force).” Dari sinilah, saya kira, Weber beranjak menuju
teorinya tentang Negara sebagai pemegang monopoli atas kekerasan. Itulah
sebabnya Negara modern, dalam perspektif Weberian, tidak akan pernah mengenal
organisasi seperti PAM Swakarsa, misalnya. Apalagi milisi-milisi yang merasa
berhak untuk memaksakan kehendaknya. Para ilmuwan sosial kemudian
mengategorikan negara seperti ini sebagai negara lemah (weak-state) atau kalau
negara sama sekali tidak mampu memonopoli kekerasan akan disebut sebagai negara
gagal (failed-state). Negara seperti Pakistan atau Haiti, yang tidak mampu
mengendalikan kelompok-kelompok bersenjata dalam teritorinya disebut sebagai
negara gagal. Secara umum, negara-negara sedang berkembang adalah negara lemah.
Selain Max Weber,
V.I. Lenin juga pernah menuliskan tentang Negara berdasarkan pandangan Marxis
dalam bukunya yang berjudul “Negara dan Revolusi.” Menurut Lenin Negara adalah
alat dari suatu kelas yang berkuasa untuk menindas kelas yang dikuasai. [2]
Itulah dua teori
yang memberikan gambaran tentang apa itu Negara dan seperti apa peran Negara.
Setelah kita
sama-sama mengetahui arti dari keberadaan Negara, mari kita masuk untuk
menganlisis manufer politik yang dilakukan oleh kelompok pergerakan yang ikut
dukung mendukung Capres dan Cawapres pada Pemilu 2019, berdasarkan kedua teori
tersebut.
Jika alasan
kelompok pergerakan mendukung Capres dan Cawapres adalah untuk merebut kekuasaan
dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat, maka sama saja mereka sedang
menuju jalan kekonyolan, atau bahkan sedang bunuh diri. Kenapa demikian? Kita
tahu bersama Capres dan Cawapres yang akan bertarung berasal dari partai
borjuasi. Dimana partai-partai inilah yang sedang mengendalikan Negara melalui
kader-kadernya __kalau tidak mau disebut petugas partai.
Tidak kah mereka
(kelompok pergerakan) yang mendukung Capres dan Cawapres menyadari bahwa
memenangkan salah satu calon, sama halnya dengan ikut menyerakan kekuasaan
Negara ke tangan kaum borjuasi? Serta melegitimasi kaum borjuis untuk
melanggengkan penindasan.
Namun penulis tidak
begitu yakin bahwa kelompok pergerakan ini tidak memahami hal tersebut, karena
hampir semua kelompok pergerakan di Indonesia melahap teori-teori revolusioner,
tidak terkecuali kedua teori yang disebutkan di atas. Jika demikian, maka
alasan untuk merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat
adalah semata-mata suatu dalil pembenaran.
Sementara itu,
terdapat pula kelompok pergerakan yang tidak/belum mendukung calon manapun dan
sampai saat ini masih meyakini bahwa alat politik alternatif (dalam hal ini
partai revolusioner) adalah solusi untuk merubah tatanan sosial menuju
masyarakart yang adil, setarah dan sejahtera. Sedangkan penulis secara individu
belum berfikir bahwa alat politik alternatif, saat ini telah menjadi suatu
kebutuhan bagi massa rakyat, walaupun penulis harus mengakui bahwa alat politik
alternatif adalah solusi untuk merubah sistem yang tidak manusiawi
(kapitalisme).
Argument tersebut
akan menimbulkan pertanyaan, “Mengapa alat politik alternatif saat ini belum
menjadi kebutuhan massa rakyat?” Jawabannya sederhana, yang menganggap perlunya
alat politik alternatif saat ini sebagai suatu kebutuhan bagi perjuangan rakyat
hanyalah kelompok pelopor atau unsur maju dari kelompok pergerakan. Sementara
basis massa rakyat atau massa di akar rumput belum sampai pada kesadaran
perlunya alat politik alternatif.
Berbagai praktek
lapangan dan realita yang terjadi di basis massa menjadi tolak ukur penulis,
sehingga berfikir bahwa politik alternatif belum bisa dikatakan sebagai
kebutuhan massa rakyat melainkan masih sekedar tawaran untuk massa rakyat.
Minimnya kesadaran politik terhadap massa rakyat adalah problem yang harus di
selesaikan (kontradiksi pokok). Saat ini kesadaran massa rakyat masih pada
tatanan kesadaran ekonomi (normatif) belum sampai pada kesadaran politik.
“Bagaimana
mungkin kita memberikan perahu pada seseorang, sementara orang itu belum tahu
cara memancing ikan, dan bahkan orang itu tidak mau menjadi seorang nelayan?”
Sama halnya dengan
alat politik alternatif, penulis memanggap alat politik alternative atau partai
revolusioner adalah perahu menuju
kekuasaan dan merubah sistem, tapi di satu sisi kader partai revolusioner belum
siap untuk berpartai, kita bisa lihat realitas tersebut dari kader partai
revolusioner yang ada saat ini, apakah kader partai sudah disiplin? Apakah
kader partai mampu menerapkan kritik oto kritik? Apakah kader partai sudah berkualitas?
Apakah kader partai sudah siap terpimpin atau sebaliknya hanya siap memimpin?
Apakah kesadaran kader partai sudah merata?
Pertanyaan-pertanyaan
mendasar inilah yang selalu melintas dalam pikiran penulis. Tanpa sadar
terkadang kita mengabaikkan pertanyaan-pertanyaan tersebut karena ego. Hal ini
mengingatkan kita pada seorang filsuf, Sigmund freud. Dia mengatakan “karakter
utama manusia adalah sering mengeluarkan ego di alam bawah sadar, sehingga ia
sendiri tak menyadari bahwa itu bagian dari ego.”[3]
Setelah kita
memetakan kesadaran kader partai, berikutnya marilah kita memetakan kesadaran
massa rakyat, apakah massa rakyat sudah sampai pada kesadaran politiknya?
“Itulah tugas kita
untuk memberikan kesadaran pada massa rakyat.” Mungkin seperti itulah bantahan
dari pertanyaan di atas.
Benar bahwa hal itu
menjadi tugas kita! Tetapi kita tahu bersama adanya hukum perubahan, dimana
dalam perubahan suatu material terdapat faktor eksternal dan internal. Untuk
menghasilkan perubahan, faktor eksternal hanya mampu mempengaruhi faktor
internal dan yang menentukan perubahan suatu material adalah faktor internal
itu sendiri.
Pertanyaan
berikutnya, bagaimana jika faktor internalnya tidak bisa dipengaruhi akibat
faktor eksternal yang tidak/belum memiliki kesadaran politik? Artinya bagaimana
mungkin seorang kader mampu memberikan kesadaran politik bagi massa rakyat,
sementara dirinya sendiri belum sepenuhnya memiliki kesadaran politik. Dengan
kondisi seperti itu, seolah-olah kita melupakan hal yang sebenarnya sama-sama
kita ketahui yaitu kapitalisme bukan suatu sistem yang baku, __sama
halnya dengan MDH bukan suatu ajaran yang baku__ karenannya
kapitalisme akan terus memperbaharui cara dalam mendominasi kesadaran massa
rakyat. Bahkan tendensi krisis kapital sekalipun, kapitalisme mampu
meng-counter-nya.
Dengan menyadari
hal tersebut, bukankah kita yang terlalu cepat ingin menang? Sementara
melupakan konsekuensi yang dapat menjerumuskan gerakan untuk mengulangi
kegagalan-kegagalan perjuangan sebelumnya.
Walaupun penulis
juga meyakini bahwa adanya partai politik alternatif di haruskan dalam
perjuangan kelas, tetapi kita tidak bisa meninggalkan kesadaran massa rakyat
dan juga tak bisa meremehkan kekuatan kapitalisme yang telah terbangun
berabad-abad lamanya.
Dengan segala
keterbatasan dan kurangnya referensi yang dimiliki penulis, maka penulis
meminta tanggapan dari pembaca sekalian.
Terakhir, satu
pesan untuk menutup tulisan ini; “Tanggung jawab pelopor gerakan adalah
mengimbangi kesadaran massa rakyat bukan meninggalkan kesadaran massa rakyat
demi kemenangan sesaat, yang menjadi suatu kekonyolan, diakibatkan mengulangi
kegagalan perjuangan sebelumnya.” Sekian dan terima kasih.
Di edit oleh:
Zulkifly lamading
Catatan: