Kamis, 16 Agustus 2018

Memperbaiki Jalan Menuju Revolusi Lebih Baik dari pada Membabi-buta dalam Menginterfensi Politik Elektoral


Setingan aksi masarakat Desa Panilan Jaya, Kec.Tiloan, Kab.Buol. Foto: Dokumentasi SPR.
Oleh: Jason Mandagi (Opo)
Anggota Partai Rakyat pekerja

Kembali lagi kita diperhadapkan dengan pesta demokrasi borjuasi yang setiap lima tahun sekali diselenggarakan, dimana momen ini merupakan panggung bagi partai politik borjuis. Semua elemen masyarakat ikut mengambil peran masing-masing. Tak terkecuali kelompok pergerakan, pun terbawa arus dalam pesta demokrasi ala borjuis ini. Dari setiap kelompok pergerakan yang terlibat langsung dalam agenda ini, __entah terlibat secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi__ masing-masing memiliki alasan dan tujuan tertentu.

Kita tidak mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang diinginkan oleh kelompok pergerakan yang ikut dukung mendukung Capres dan Cawapres pada Pemiihan Umum (Pemilu) 2019. Yang jelas hanya ada dua kemungkinan latar belakang dari gerakan mereka. Yang pertama adalah untuk kepentingan diri sendiri, yang kedua adalah untuk merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat.

Jika alasan yang mereka ambil adalah alasan yang disebut terakhir, maka kita harus kembali membahas permasalahan mendasar dalam perjuangan kelas. Tentu saja tentang perebutan kekuasaan (dalam hal ini kekuasaan Negara). Karena memang untuk menggulingkan kapitalisme, kekuasaan Negara yang dikendalikan oleh sistem yang tidak manusiawi harus terlebih dulu direbut.

Sebelum kita lanjut pada inti pembahasan dari tulisan ini, perlu kita ketahui bersama, apa yang dimaksud dengan Negara? Sehingga perlu untuk merebutnya.

Untuk itu kita perlu merujuk ke salah satu tulisan Max Weber, yang mengulas tentang Negara. Dalam eseinya yang berjudul “Politics as a Vocation” atau bila diterjemahkan secara kasar menjadi “Politik Sebagai Suatu Panggilan,” Weber mengulas tentang Negara serta menciptakan ungkapan yang sangat terkenal yaitu ‘Negara adalah pemegang monopoli atas penggunaan kekerasan.’ Di dalam Negara modern, tidak ada pihak lain yang boleh menggunakan kekerasan di luar lembaga resmi yang dikendalikan oleh Negara.[1]

Apakah Negara itu? Weber secara tegas di awal eseinya mengatakan bahwa Negara adalah sebuah asosiasi politik. Dia mengutip Trotsky yang mengatakan “setiap Negara didirikan dengan kekuatan (force).” Dari sinilah, saya kira, Weber beranjak menuju teorinya tentang Negara sebagai pemegang monopoli atas kekerasan. Itulah sebabnya Negara modern, dalam perspektif Weberian, tidak akan pernah mengenal organisasi seperti PAM Swakarsa, misalnya. Apalagi milisi-milisi yang merasa berhak untuk memaksakan kehendaknya. Para ilmuwan sosial kemudian mengategorikan negara seperti ini sebagai negara lemah (weak-state) atau kalau negara sama sekali tidak mampu memonopoli kekerasan akan disebut sebagai negara gagal (failed-state). Negara seperti Pakistan atau Haiti, yang tidak mampu mengendalikan kelompok-kelompok bersenjata dalam teritorinya disebut sebagai negara gagal. Secara umum, negara-negara sedang berkembang adalah negara lemah.

Selain Max Weber, V.I. Lenin juga pernah menuliskan tentang Negara berdasarkan pandangan Marxis dalam bukunya yang berjudul “Negara dan Revolusi.” Menurut Lenin Negara adalah alat dari suatu kelas yang berkuasa untuk menindas kelas yang dikuasai. [2]

Itulah dua teori yang memberikan gambaran tentang apa itu Negara dan seperti apa peran Negara.

Setelah kita sama-sama mengetahui arti dari keberadaan Negara, mari kita masuk untuk menganlisis manufer politik yang dilakukan oleh kelompok pergerakan yang ikut dukung mendukung Capres dan Cawapres pada Pemilu 2019, berdasarkan kedua teori tersebut.

Jika alasan kelompok pergerakan mendukung Capres dan Cawapres adalah untuk merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat, maka sama saja mereka sedang menuju jalan kekonyolan, atau bahkan sedang bunuh diri. Kenapa demikian? Kita tahu bersama Capres dan Cawapres yang akan bertarung berasal dari partai borjuasi. Dimana partai-partai inilah yang sedang mengendalikan Negara melalui kader-kadernya __kalau tidak mau disebut petugas partai.

Tidak kah mereka (kelompok pergerakan) yang mendukung Capres dan Cawapres menyadari bahwa memenangkan salah satu calon, sama halnya dengan ikut menyerakan kekuasaan Negara ke tangan kaum borjuasi? Serta melegitimasi kaum borjuis untuk melanggengkan penindasan.

Namun penulis tidak begitu yakin bahwa kelompok pergerakan ini tidak memahami hal tersebut, karena hampir semua kelompok pergerakan di Indonesia melahap teori-teori revolusioner, tidak terkecuali kedua teori yang disebutkan di atas. Jika demikian, maka alasan untuk merebut kekuasaan dan berfikir untuk kepentingan massa rakyat adalah semata-mata suatu dalil pembenaran.

Sementara itu, terdapat pula kelompok pergerakan yang tidak/belum mendukung calon manapun dan sampai saat ini masih meyakini bahwa alat politik alternatif (dalam hal ini partai revolusioner) adalah solusi untuk merubah tatanan sosial menuju masyarakart yang adil, setarah dan sejahtera. Sedangkan penulis secara individu belum berfikir bahwa alat politik alternatif, saat ini telah menjadi suatu kebutuhan bagi massa rakyat, walaupun penulis harus mengakui bahwa alat politik alternatif adalah solusi untuk merubah sistem yang tidak manusiawi (kapitalisme).

Argument tersebut akan menimbulkan pertanyaan, “Mengapa alat politik alternatif saat ini belum menjadi kebutuhan massa rakyat?” Jawabannya sederhana, yang menganggap perlunya alat politik alternatif saat ini sebagai suatu kebutuhan bagi perjuangan rakyat hanyalah kelompok pelopor atau unsur maju dari kelompok pergerakan. Sementara basis massa rakyat atau massa di akar rumput belum sampai pada kesadaran perlunya alat politik alternatif.

Berbagai praktek lapangan dan realita yang terjadi di basis massa menjadi tolak ukur penulis, sehingga berfikir bahwa politik alternatif belum bisa dikatakan sebagai kebutuhan massa rakyat melainkan masih sekedar tawaran untuk massa rakyat. Minimnya kesadaran politik terhadap massa rakyat adalah problem yang harus di selesaikan (kontradiksi pokok). Saat ini kesadaran massa rakyat masih pada tatanan kesadaran ekonomi (normatif) belum sampai pada kesadaran politik.

“Bagaimana mungkin kita memberikan perahu pada seseorang, sementara orang itu belum tahu cara memancing ikan, dan bahkan orang itu tidak mau menjadi seorang nelayan?”

Sama halnya dengan alat politik alternatif, penulis memanggap alat politik alternative atau partai revolusioner  adalah perahu menuju kekuasaan dan merubah sistem, tapi di satu sisi kader partai revolusioner belum siap untuk berpartai, kita bisa lihat realitas tersebut dari kader partai revolusioner yang ada saat ini, apakah kader partai sudah disiplin? Apakah kader partai mampu menerapkan kritik oto kritik? Apakah kader partai sudah berkualitas? Apakah kader partai sudah siap terpimpin atau sebaliknya hanya siap memimpin? Apakah kesadaran kader partai sudah merata?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang selalu melintas dalam pikiran penulis. Tanpa sadar terkadang kita mengabaikkan pertanyaan-pertanyaan tersebut karena ego. Hal ini mengingatkan kita pada seorang filsuf, Sigmund freud. Dia mengatakan “karakter utama manusia adalah sering mengeluarkan ego di alam bawah sadar, sehingga ia sendiri tak menyadari bahwa itu bagian dari ego.”[3]

Setelah kita memetakan kesadaran kader partai, berikutnya marilah kita memetakan kesadaran massa rakyat, apakah massa rakyat sudah sampai pada kesadaran politiknya?

“Itulah tugas kita untuk memberikan kesadaran pada massa rakyat.” Mungkin seperti itulah bantahan dari pertanyaan di atas.

Benar bahwa hal itu menjadi tugas kita! Tetapi kita tahu bersama adanya hukum perubahan, dimana dalam perubahan suatu material terdapat faktor eksternal dan internal. Untuk menghasilkan perubahan, faktor eksternal hanya mampu mempengaruhi faktor internal dan yang menentukan perubahan suatu material adalah faktor internal itu sendiri.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika faktor internalnya tidak bisa dipengaruhi akibat faktor eksternal yang tidak/belum memiliki kesadaran politik? Artinya bagaimana mungkin seorang kader mampu memberikan kesadaran politik bagi massa rakyat, sementara dirinya sendiri belum sepenuhnya memiliki kesadaran politik. Dengan kondisi seperti itu, seolah-olah kita melupakan hal yang sebenarnya sama-sama kita ketahui yaitu kapitalisme bukan suatu sistem yang baku, __sama halnya dengan MDH bukan suatu ajaran yang baku__ karenannya kapitalisme akan terus memperbaharui cara dalam mendominasi kesadaran massa rakyat. Bahkan tendensi krisis kapital sekalipun, kapitalisme mampu meng-counter-nya.

Dengan menyadari hal tersebut, bukankah kita yang terlalu cepat ingin menang? Sementara melupakan konsekuensi yang dapat menjerumuskan gerakan untuk mengulangi kegagalan-kegagalan perjuangan sebelumnya.

Walaupun penulis juga meyakini bahwa adanya partai politik alternatif di haruskan dalam perjuangan kelas, tetapi kita tidak bisa meninggalkan kesadaran massa rakyat dan juga tak bisa meremehkan kekuatan kapitalisme yang telah terbangun berabad-abad lamanya.

Dengan segala keterbatasan dan kurangnya referensi yang dimiliki penulis, maka penulis meminta tanggapan dari pembaca sekalian.

Terakhir, satu pesan untuk menutup tulisan ini; “Tanggung jawab pelopor gerakan adalah mengimbangi kesadaran massa rakyat bukan meninggalkan kesadaran massa rakyat demi kemenangan sesaat, yang menjadi suatu kekonyolan, diakibatkan mengulangi kegagalan perjuangan sebelumnya.” Sekian dan terima kasih.

Di edit oleh: Zulkifly lamading

Catatan:




Share:

Definition List

Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Cari Blog Ini

Ordered List

Recent Posts

Unordered List

Featured Post

Tergerusnya gerakan feminisme dalam ruang-ruang subjektifisme

Tergerusnya   gerakan feminisme dalam ruang-ruang subjektifisme Bukan sesuatu yang asing lagi mengenai persoalan perempuan, sejak per...

Pages

Theme Support